Adsense 205x250

Friday, September 23, 2011

Which is Better?? Vidal or Marchisio?


Allenatore Juventus, Antonio Conte dihadapkan pada sebuah dilema. Conte dituntut untuk cerdas dalam menentukan siapa yang pantas mendampingi Andrea Pirlo di lini tengah.

Tiga giornata sudah dilewati Juventus pada musim 2011-12. Perjalanan memang masih panjang, masih ada 35 laga lagi untuk menentukan campione d’Italia. Dalam 3 pekan pertama saya melihat lo spirito Juventus mulai kembali berkobar di dada para pemain Juventus. Formasi 4-4-2 yang diusung allenatore Antonio Conte terbukti belum bisa diredam oleh para difensore lawan. Formasi yang bertransformasi menjadi 4-2-4 ketika menyerang ini harus memiliki dua orang centrocampista yang berkualitas jempol. Poros dua orang gelandang ini haruslah solid dan memiliki visi yang sama baik dalam hal membangun serangan maupun menahan serbuan lawan.

Di Juventus, kini ada Andrea Pirlo, Claudio Marchisio, Michele Pazienza dan Arturo Vidal. Di 3 pekan pertama Pirlo sudah langsung nyetel dengan strategi Conte. Ia berhasil menjadi roh permainan di lini tengah Juventus, visi  dan umpan-umpan gelandang yang sempat membela Brescia, Inter dan Milan ini masih cemerlang. Ditambah lagi pengalaman bejibun sang gelandang, dengan mudah ia menembus skuad utama Juventus.

Lalu timbullah pertanyaan, siapakah yang pantas mendampingi Pirlo di lini tengah Juventus?.

Untuk saat ini Claudio Marchisio tampaknya masih menjadi pilihan utama untuk menjadi kompatriot Pirlo. Marchisio selalu menjadi starter di laga-laga Juventus. Tetapi jangan salah, Arturo Vidal yang dibeli dari Leverkusen dengan harga 10 juta euro siap bersaing untuk memperebutkan jatah tim inti, belum lagi Pazienza yang tentu tidak mau  terlalu sering menjadi penghangat bangku cadangan.

Tetapi kita akan lebih membahas Vidal dan Marchisio, karena sejatinya Pazienza memang didatangkan hanya sebagai backup tatkala ketiga pemain tersebut absen atau cedera.

Sekilas tentang Arturo Vidal

Arturo Erasmo Vidal Pardo, pria yang lahir 24 tahun silam ini lahir di Santiago, Chile. Di awal karirnya ia membela Colo-Colo, salah satu klub tersohor di Chile. Setelah 2 tahun membela panji Colo-Colo, ia hijrah ke Bayern Leverkusen. Di tanah Jerman ini ia berkembang dengan pesattidak butuh waktu lama bagi Vidal untuk merebut hati publik Bay Arena.

Nama Vidal mencuat kala mengantarkan Chile ke perempat final Copa America 2011 lalu. Di turnamen tersebut,Ia menunjukkan kualitasnya sebagai gelandang bertahan yang tak kenal kompromi dan multifungsi.

Penampilan ciamiknya membuat sejumlah klub Eropa berebut untuk mendapatkan tanda tangan gelandang yang dijuluki King Arthur itu. Vidal akhirnya bergabung dengan Juventus dengan bandrol 12 juta euro.


Arturo Vidal, salah satu gelandang baru Juventus

Sekilas tentang Marchisio

Claudio Marchisio lahir di Chieri,Turin Italia 25 tahun silam. Marchisio adalah produk asli binaan dari Primavera Juventus. Ia menjalani debut bersama Juventus pada musim 2008-2009 setelah dipinjamkan ke Empoli musim sebelumnya. Marchisio yang digadang-gadang sebagai penerus Marco Tardelli ini mempunyai visi bermain yang baik. Passing dan long shoot pemain yang mempunyai tinggi 1,79 meter ini pun lumayan. Di musim lalu, ia ditempatkan sebagai gelandang kiri oleh Luigi Del Neri. Jurnalis italia menyebut bahwa Marchisio tidak cocok menempati posisi tersebut. Musim ini adalah musim kelima Marchisio membela Juventus di level senior.

Claudio Marchisio, konsistensinya dibutuhkan Juventus

Arturo Vidal

Kelebihan
+ Tidak ragu untuk melakukan tackling terhadap lawan
+ Long shoot Vidal lebih terarah dan cukup kencang
+ Vidal pemain multiposisi, ia bisa ditempatkan di seluruh posisi di lapangan tengah. Vidal pun bisa mahir bila ditempatkan sebagai bek kiri

Kekurangan
- Timing tackling Vidal terkadang tidak tepat, sehingga terkesan kasar.
- Kurang bisa mengontrol emosi


Claudio Marchisio

Kelebihan
+ Marchisio mempunyai visi bermain yang baik
+ Ia kerap menjadi pemecah kebuntuan tim kala kesusahan menembus pertahanan lawan dengan inside cutnya
+ Passing Marchisio lebih terukur daripada Vidal
+ Daya jelajah yang luas tetapi tetap disiplin

Kekurangan
- Pengalaman Marchisio masih kurang
- Penampilan Marchisio terkadang masih angin-anginan.
- Bila dipasang  bukan pada posisi aslinya, penampilan Marchisio tidak maksimal
Bisakah kedua pemain tersebut diturunkan bersamaan?

Hingga kini Pirlo masih menjadi sentral permainan Juventus, namun tentu saja cedera dan akumulasi kartu dapat menghalangi Pirlo untuk tampil. Mau tidak mau Conte harus mencari strategi alternatif untuk setidaknya mengurangi ketergantungan Pirlo. Belum lagi usia Pirlo yang sudah menginjak usia 30, dimana staminanya sudah tidak sebugar kala membela Milan.

Menurut saya, Vidal dan Marchisio dapat diturunkan secara bersamaan karena sejatinya, Vidal dan Marchisio adalah due tipe gelandang yang berbeda. Vidal bermain lebih kedalam area pertahanan, sedangkan Marchisio sedikit diatas posisi Vidal. Meskipun terkadang ia ikut membantu serangan, ia merupakan orang pertama dalam menahan serangan lawan di sektor tengah. Bila bola berhasil dihalau, maka Vidal dapat mengalirkan bola kepada Marchisio yang kemudian diteruskan ke pemain sayap atau penyerang.

Hal yang kurang dari duet ini adalah belum terjalinnya benang merah antara mereka. Vidal yang baru datang hanya beberapa bulan masih harus menyesuaikan gaya permainan tim-tim liga italia yang cenderung mengandalkan ball possession. Kedua pemain tersebut harus saling menyesuaikan gaya bermain masing-masing agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memotong serangan yang dibangun lawan. Untuk meraih hal tersebut memang butuh waktu yang tidak sebentar.

Seandainya hal tersebut dapat terwujud, tentunya Conte tidak perlu pusing apabila suatu saat Pirlo berhalangan untuk tampil

 So, pilih siapa Conte? Vidal atau Marchisio?? Menurut saya, Dua-Duanya :D

Bandung-24-09-2011 1:25 AM

Read More...

Saturday, September 17, 2011

Turunnya Pamor Tower Men di Sepakbola Eropa.


Dewasa ini, kita dengan mudah menemukan tipe striker modern yang bertipe pelari cepat, pembuka ruang bagi teammate. Umpan-umpan sang striker modern pun dituntut untuk setidaknya tidak jelek-jelek amat. Sergio Aguero di Manchester City, Ashley Young di Manchester United atau Robin Van Persie di Arsenal merupakan contoh ideal striker modern. Mereka mempunyai skill dan teknik pengobrak-abrik pertahanan lawan, tendangan yang keras dan umpan yang lumayan terukur.

Sepakbola eropa memang sudah berevolusi, Strategi ala catenaccio Italia dianggap sudah ketinggalan zaman. Pelatih dituntut untuk mengandalkan striker-striker berpace cepat,stamina badak dan all round player. Melihat realitas tersebut lalu timbullah pertanyaan dalam benak kita.
“Kemanakah para striker jangkung dengan naluri predator dan determinasi tinggi?”. “Kemanakah para striker yang kerap menjadi fox in the box di pertahanan lawan?”

Pasca David Trezeguet dan Jan Koller, Kiprah para pemain yang kerap dijuluki Tower men meredup secara perlahan. Sepak Bola Eropa sedikit demi sedikit meninggalkan paham bahwa “Mempunyai striker jangkung di sebuah tim sepakbola adalah suatu keharusan.”

Publik Italia sudah kehilangan figur-figur seperti Trezeguet dan John Charles. Pemain-pemain seperti Alexis Sanchez, Fabio Quagliarella, Giampaolo Pazzini dan Fabrizio Miccoli sukses menggusur pamor Tower Men. Formasi yang mengandalkan Tower Men seperti 4-2-31, 4-4-2 dan 4-3-2-1 mulai ditinggalkan. Sebaliknya pelatih-pelatih Serie A banyak yang memainkan formasi 3-4-3 dan 4-3-3 yang tentu saja menutup kans pemain jangkung untuk masuk kedalam skema tersebut.
Fabrizio Miccoli, salah satu striker mungil yang menggusur pamor striker jangkung

Karir para pemain jangkung di Serie A pasca keluarnya David Trezeguet banyak yang tidak mengesankan, Luca Toni tidak memberikan pengaruh banyak bagi Genoa dan Juventus. Amauri hanya bertaji di musim pertama di Juventus, dan sekarang malah statusnya dibekukan Juventus. Bisa dibilang, hanya karir striker asal Swedia yang kini membela AC Milan , Zlatan Ibrahimovic yang lumayan karirnya. Ibrahimovic pun harus membuktikan lagi kemampuannya karena baru meraih 1 trofi scudetto pasca era Trezeguet.

Tidak ada lagi striker jangkung di serie A yang benar-benar mengadopsi paham “One Touch, One Goal”. Tidak ada lagi Striker Jangkung serie A yang ego mencetak golnya begitu besar dan menjadi predator di area penalti. Entah sampai kapan dominasi ini akan berlanjut dan entah sampai kapan kita bisa melihat kiprah kiprah pemain jangkung menciptakan gol-gol spektakuler dari aerial play yang belum tentu bisa dilakukan oleh para striker-striker mungil.

Bandung, 17-09-2011, 13.43 PM
Read More...

10 Tahun Pasca Debut David Trezeguet


Juli tahun 2000, Final Euro kala itu mempertemukan Perancis dengan kombinasi skuad Piala Dunia 2000 dengan para pemain mudanya melawan skuad Italia asuhan Dino Zoff. Menjelang istirahat pertama babak extra time, Robert Pires menggiring bola menusuk pertahanan kiri italia, kemudian ia melepaskan umpan datar ke rekannya yang bernomor 20 dan pemain tersebut melepaskan tendangan volley keras menghujum gawang Italia yang dikawal Francesco Toldo.

Sontak 51 ribu penonton di stadion Rotterdam, Belanda bergemuruh. Gol tersebut menasbihkan Perancis sebagai tim pertama kala itu yang sukses mengawinkan gelar Juara Piala Dunia dengan Piala Eropa.

Tim Italia dan pendukungnya pun “mati mendadak”! Aturan Golden Goal yang kala itu masih diterapkan membuat Italia harus mengubur dalam-dalam impiannya untuk meraih piala eropa untuk kedua kalinya.

Lalu siapakah pahlawan yang membuat gol emas tersebut? Siapakah pula sosok yang sempat menjadi musuh nomor 1 rakyat Italia?.

Jawabannya adalah pria bernama David Sergio Trezeguet yang membuat mimpi Italia hancur. Pasca gol tersebut, media pun ramai memberitakan sejumlah klub besar eropa tertarik untuk memboyong pemain yang kemudian dijuluki Trezegol itu.

Namun baik media maupun klub yang tertarik memboyongnya harus gigit jari, jauh sebelum terciptanya peristiwa bersejarah tersebut, diam-diam Juventus sudah meminang pemain kelahiran Rouen, Perancis yang tahun ini berusia 33 tahun itu.

Trezeguet muda masuk kala lini depan juventus penuh sesak. Duet Alessandro Del Piero- Filippo Inzaghi sulit untuk digeser, Darko Kovacevic, dan Daniel Fonseca lebih berpengalaman di liga Italia Seri A. Praktis di musim pertamanya Trezeguet lebih sering terlihat di bangku cadangan dan hanya menyarangkan 14 gol dari 25 penampilan.

Meskipun gol tersebut terbilang cukup banyak bagi seorang pemain cadangan. Namun. Pelatih Juventus kala itu Carlo Ancelotti ogah “kualat” dengan mengusik duet yang kerap disebut Del-Pippo.
Trezeguet ketika memperkuat Juventus. Ia merupakan salah satu stranieri paling sukses di Serie A

Pertikaian Inzaghi-Del Piero: Blessing In Disguise

Penampilan duet Del Piero dan Inzaghi di lini depan Juventus menjadi momok yang ditakuti bek-bek serie A. Del Piero dengan teknik kontrol bola dan set piece nya dikombinasikan dengan determinasi dan insting predator Inzaghi membuat duet tersebut menjadi salah satu duet paling mematikan di serie A.

Persahabatan pun mulai retak dikala kedua figur sentral tersebut bersaing untuk menjadi anak kesayangan publik Turin. Persahabatan Del Piero dan Inzaghi pun dikabarkan mulai memanas. Benar saja,1 diantara mereka harus ada tumbal, dan FilippoInzaghi lah yang harus rela merelakan gelar “anak emas” Turin.Di akhir musim 2000-2001 Inzaghi keluar dari Juventus dan kemudian memperkuat AC Milan. Direksi Juventus pun kelimpungan untuk mencari penggantinya, penampilan Darko Kovacevic dan Daniel Fonseca dinilai terlalu aning-anginan.

Ancelotti pun berjudi dengan mempercayai Trezeguet sebagai tandem Del Piero berikutnya. Komentar miring dan kritik pun berdatangan, Trezeguet dinilai tidak bisa mengimbangi Del Piero di lini depan. Belum lagi, tampaknya publik italia masih sakit hati dengan Trezeguet.

Strategi pun diubah. Kebiasaan Ancelotti yang kerap hanya menurunkan striker-striker postur kecil bertipe perusak konsentrasi pertahanan lawan pun kala itu berubah menjadi 1 orang tipe striker tipe perusak dan 1 Tower men yang bertugas melahap umpan dari lini tengah.
Di musim keduanya, Trezeguet membungkam kritik yang menerpanya dan memaksa publik Italia menjilat kembali ludahnya. Bersama Dario Hubner dari Piacenza, Trezeguet menjadi Capocannonieri dengan 24 gol dari 34 penampilan. Trezeguet sebenarnya lebih unggul dari Dario Hubner, karena gol yang ia ciptakan semua berasal dari open play, sedangkan gol-gol Hubner masih ada yang tercipta lewat titik putih.

Di akhir musim 2001-2002, Trezeguet sukses menyabet dua gelar prestisius di Serie A. Pemain Terbaik Serie A dan Pemain Asing Terbaik Serie A.Berkat gelar inilah Trezeguet pun mulai dijuluki Trezegol, terinspirasi dari anugrah publik Firenze kepada Batistuta yang dijuluki Batigol.

Grazie Trezegol!

10 tahun bersama Juventus dan Timnas Perancis, bukan berarti semua berjalan baik-baik saja. Di Timnas Perancis, ia tak lepas dari kontroversi. Ia dan Robert Pires masuk dalam blacklist pelatih Perancis kala itu Raymond Domenech. Publik Perancis kala itu mendesak Domenech untuk memasukkan nama Pires dan Trezeguet ke skuad timnas, namun Domenech tidak bergeming. Hasilnya? Perancis babak belur di kejuaraan dunia dan Eropa, khususnya Euro 2008.

Ia berkomentar “Penampilan Perancis di Euro 2008 sangatlah buruk, tetapi yang lebih buruk lagi adalah Perancis masih dilatih Domenech.”

Pemain yang mengawali karir di klub kecil Platense ini juga kerap bersitegang dengan manajemen Juventus. Masalahnya, apalagi kalau bukan gaji. Manajemen pun dibuat pusing tujuh keliling, mereka menganggap Trezeguet terlalu berharga untuk dilepas dan Publik Turin kadung mencintainya. Ujung-ujungnya, manajemen Juventus yang terkenal tidak pandang bulu dan tegas ini pun melunak dan memberikan kontrak sesuai permintaan Trezeguet.

Dari cerita diatas, dengan mudah kita menganggap bahwa Trezegol pemain yang egonya sangat kuat dan orientasi Trezegol hanyalah UANG!. Tapi tampaknya kita keliru, di musim 2006-2007 kala Juventus harus turun ke Serie B akibat “Calciopoli” Trezeguet tetap bertahan, ia menampik tawaran-tawaran menggiurkan dari klub-klub italia dan luar Italia. Ia ingin membalas budi dan kembali mengangkat Juventus ke Serie A. Bukan omong kosong, 35 gol yang ia ciptakan bersama Kapten Juventus Alessandro Del Piero mengantarkan Juventus ke level yang semestinya.

Di penghujung karirnya, Trezeguet melampaui rekor klub sebagai pemain asing yang mencetak gol terbanyak. Trezeguet mencatat 168 gol melampaui rekor legenda Italia dan Argentina sebelumnya, Omar Sivori dengan 167 gol.

Tepat tanggal 30 Agustus 2010, Publik Turin harus rela melihat pemain yang masuk kedalam 50 Legenda Juventus ini berganti kostum. Trezeguet resmi keluar dari Juventus dan kemudian bergabung ke klub promosi, Hercules. Hanya 1 musim ia bertahan di Liga Primera Spanyol. Ia pun hijarah ke Bani Yas, Klub Arab yang disponsori para juragan minyak.
Grande-grande Trezegol!!

Bandung, 17-09-2011, 13.43 PM
Read More...

Juventus Arena, Reinkarnasi Wajah Persepakbolaan Italia


Puluhan ribu pendukung Juventus, berbondong-bondong ke salah satu stadion sepakbola di kota Turin, yaitu Delle Alpi. Mereka tidak hanya berasal dari sekitar kota Turin, tetapi berasal dari penjuru Italia bahkan ada yang berasal dari luar Italia. Setelah sampai di dekat stadion, mereka mulai bernyanyi-nyanyi dan meneriakkan chant-chant sebagai luapan kebanggan mereka . Lantas apa yang membuat mereka bangga? Ternyata mereka mempunyai stadion baru. Aura di kota Turin,Italia kala itu sangat berbeda dari biasanya.

Semula Juventus memakai Stadion Delle Alpi sebagai ”kandang” mereka kala mengarungi kompetisi sepakbola italia,Lega Calcio Serie A.Stadion yang semula dibangun hanya untuk menambah “gengsi” Italia sebagai penyelenggara Piala Dunia 1990 itu kini sudah bertransformasi. Setelah 13 tahun Juventus menyewa stadion kepada pemerintah kota Turin, akhirnya di tahun 2003 Juventus memperoleh hak penuh untuk kepemilikan Delle Alpi dan diijinkan untuk merenovasi stadion yang mampu menampung 67.000 penonton itu.

Sebenarnya penyewaan stadion merupakan hal yang lumrah kita temui di persepakbolaan Italia, AC Milan dan Inter menyewa San Siro kepada pemerintah Kota Milan, sedangkan klub asal ibukota Italia, Roma dan Lazio meminjam dari Komite Olahraga Italia.

Delle Alpi bukanlah stadion sepak bola ideal yang sejatinya menawarkan banyak kenyamanan seperti stadion yang kita lihat di stadion-stadion di Inggris. Almarhum Presiden Juventus, Giovanni Agnelli pun sempat mengeluhkan fasilitas yang ada di Delle Alpi. Ia berujar, jarak pandang penonton terlampau jauh dikarenakan adanya running track yang mengitari lapangan. Maklum, selain digunakan untuk keperluan pertandingan sepak bola, tapi Delle Alpi juga kerap digunakan untuk perhelatan Olimpiade Musim Dingin



Juventus Arena: Wajah Baru Delle Alpi

Namun, belum juga proyek renovasi tersebut dimulai, skandal calciopoli merebak di Italia medio 2005 yang berujung pada “dipaksanya” Juventus berlaga di kasta kedua sepakbola Italia, Serie B. Impian untuk merenovasi Delle Alpi pun hancur.Sponsor dan saham Juventus langsung anjlok, dan Juve harus mulai kembali dari 0 untuk urusan perenovasian Delle Alpi. Jean Claude Blanc, seorang CEO lulusan Harvard ditunjuk sebagai kepala proyek dan pada November 2008, Juve mengumumkan bahwa kapasitas Delle Alpi akan dipangkas menjadi 41.000 tempat duduk, penghilangan running track dan akan menelan biaya hingga 100 juta Euro . Ia berujar "Stadion baru menjadi awal dari siklus positif, dan akan sangat penting dari sudut pandang Financial Fair Play, terutama untuk meningkatkan sifat kompetitif tim."

8 September 2011 menjadi saksi bisu akan kembali lahirnya stadion yang dekat dengan pegunungan Alpen ini. Aura di kota Turin,Italia kala itu sangat berbeda dari biasanya. Warga Kota Turin yang biasanya sibuk dengan kegiatan industrinya, akan tetapi pada malam itu kebanyakan dari konsentrasi mereka teralihkan pada pembukaan Juventus Arena.

Juventus F.C. Sp.A adalah klub sepakbola italia pertama yang mempunyai hak secara penuh atas pemasukan yang diterima oleh sebuah stadion sepakbola. Sebelumnya, Juventus masih harus mengeluarkan uang sewa stadion kepada pemerintah kota Turin

Lalu, mengapa pembukaan stadion ini bisa dibilang sebagai langkah awal era baru sepakbola Italia untuk kembali unjuk gigi di kancah sepakbola eropa?

Medio 1990-an Kompetisi Lega Calcio Serie A sangat booming di Indonesia. Pemain asli didikan Italia macam Alessandro Del Piero, Franco Baresi, Paolo Maldini dipadukan talenta pemain asing seperti Gabriel Batistuta, Oliver Bierhoff sukses memikat jutaan pasang mata penikmat tayangan sepak bola di Indonesia.

Namun, semenjak “tragedi” Calciopoli yang mencuat di tahun 2005, sontak popularitas Lega Italia pun mengalami penurunan, baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas. Kualitas dalam hal ini bisa dilihat dari seberapa kompetitifnya wakil lega Italia di Liga Champions Eropa (LC) , contoh teranyar adalah 1 dari 4 Wakil Italia di Kompetisi Liga Champions Eropa yaitu Udinese sudah angkat koper sebelum babak utama dimulai karena gagal mengalahkan Arsenal pada laga kualifikasi. Anjloknya penampilan wakil-wakil Italia di LC, menyebabkan koefisien Italia disalip Jerman sehingga tahun depan hanya ada 3 wakil yang merepresentasikan Italia di LC.

Bila ditilik dari segi kuantitas, kebanyakan penonton-penonton di Italia termasuk ke dalam penonton yang jarang menonton langsung di stadion. Tiket stadion-stadion seperti Olimpico Roma, Guiseppe Meazza di Milan dan Delle Alpi di Turin jarang sekali sold out, hal ini tentu sangatlah berdampak pada finansial klub. Tiket dan merchandise ibarat roda penggerak keuangan klub, tanpa pasokan dari tiket, klub-klub sepakbola tidak dapat menutupi biaya operasionalnya dan tidak dapat memenuhi syarat mengikuti kompetisi. Tentu pihak klub lebih senang melihat stadion mereka selalu penuh meskipun itu berarti mengurangi jumlah tempat duduk yang tersedia, belum lagi berkurangnya biaya perawatan yang dikeluarkan untuk merawat stadion. Tentu faktor-faktor tersebut sangat membantu klub dalam menjaga neraca keuangan mereka.

Dalam hal ini, saya merasa tindakan yang diambil Juventus terbilang tepat dan berani. Pada laga perdana Lega Serie A melawan A.C. Parma, Juventus mereguk keuntungan hampir 200% dibanding tahun lalu . Pada laga kandang musim kemarin, Juve hanya meraup keuntungan 538 ribu Euro, sedangkan pada laga musim ini Juve meneguk keuntungan hingga 1,1 Juta Euro!.

Tentu hal ini sangatlah menggiurkan bagi para direksi klub sepakbola serie A untuk mengikuti langkah Juventus yang mempunyai stadion milik sendiri.

Tidak butuh waktu lama setelah diresmikannya Juventus Arena, Presiden Palermo Maurizio Zamparini mengemukakan niatnya untuk membangun stadion baru untuk Palermo

"Pada akhir bulan kami akan mepersembahkan proyek utama guna membangun stadion baru di Palermo dan ana akan melihat adanya bagian-bagian yang baru." Kami berharap Juventus Arena di Turin bisa menjadi salah satu titik tolak bagi klub-klub di Italia untuk memiliki markas yang baru." lanjutnya.

Terlebih lagi tahun depan Financial Fair Play (FFP) sudah diterapkan di kompetisi negara yang terkenal memiliki banyak tempat romantis ini. UEFA melalui peraturan FFP akan meminta setiap klub untuk mengaudit segala pemasukan yang klub dapat selama satu musim kompetisi, dan bila terdapat dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan maka UEFA akan menskors klub tersebut dari segala kompetisi profesional .


Bandung, 13-09-2011 23:42 AM

Read More...

Adsense Menu